Browse: Home / / MENGGENGGAM ADAT MESKI SEKEPAL TANGAN (Studi Antropologi Politik Masyarakat Adat Kaili)

MENGGENGGAM ADAT MESKI SEKEPAL TANGAN (Studi Antropologi Politik Masyarakat Adat Kaili)


ABSTRACT: This study examines three issues related to indigenous To (person) Kaili when the regional autonomy laws have no longer any influence on their culture. The three issues include how the indigenous Kaili internalizes the institutional aspects of local culture to be acted in daily life as well as emerging the social organizations? How are the position and role of traditional institutions in the perspective of indigenous peoples' past, present, and next prospects? And how the perspective of local governments, non-Government Organizations (NGOs/CBOs), and regional political elite regarding the urgency of revitalizing local culture in decentralization era? This study used a qualitative descriptive method and political anthropology to discuss. This method was considered appropriate because the most obtained research data are in the form of oral and social behavior of indigenous Kaili. Using qualitative methods, data was interpreted and formulated as it is. The research conducted in the regional indigenous To Kaili located in Palapas (Palu, Donggala, Parigi Moutong, Sigi), Central Sulawesi, has been going in a very long time. This happened because various conditions on the field made the author have to dissolve in it. The thesis was originally planned to finish within 12 months, starting in May 2006 - July 2007, but it has been achieved up to December 2010. The result of this study found that the indigenous Kaili have revitalized their cultural traditions along with the various components, such as parliament, local and central government, NGOs/NGOs, indigenous organizations, concerned individuals, humanists, sociologists and so on. They set aside their own interests and professional backgrounds to join hands together carrying out the message from their ancestors who relied in "custom is only a fist-closed, but will illuminate the world when opened". This reality is increasingly proving that the regional autonomy laws give not guarantee local culture to live worthily. The indigenous peoples should seek their own culture in order to survive, even with just the way they are. On the other hand, the state can be said to have failed to protect indigenous people (original), while the indigenous Kaili have actually been proven that they can survive without state aid.

INTISARI: Penelitian ini mengkaji tiga masalah yang berhubungan dengan masyarakat adat To (orang) Kaili ketika UU otonomi daerah tak lagi punya pengaruh terhadap kebudayaan mereka. Tiga masalah tersebut adalah bagaimana masyarakat adat Kaili menginternalisasikan dan mentransformasikan aspek-aspek kelembagaan budaya lokal untuk diperankan dalam kehidupan sehari-hari maupun organisasi kemasyarakatan yang ada? Bagaimana posisi dan peran lembaga adat menurut perspektif masyarakat adat dulu, kini, dan prospeknya kemudian? Dan bagaimana perspektif pemerintah daerah, organisasi non-Pemerintah (ornop/ormas), dan elite politik daerah mengenai urgensi revitalisasi budaya lokal dalam eradesentralisasi? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan untuk membahasnya menggunakan pisau antropologi politik. Metode tersebut dianggap tepat karena penelitian ingin mengungkap lebih jauh tentang fungsi dari kelembagaan dan organisasi masyarakat adat Kaili. Dengan metode kualitatif deskriptif, data dideskripsikan secara apa adanya
lalu diinterpretasikan sesuai dengan pemahaman kebudayaan penulis. Penelitian ini dilakukan di wilayah keadatan To Kaili di Palapas (Palu, Donggala, Parigi Moutong, dan Sigi) Sulawesi Tengah. Penelitian ini telah berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, tetapi semua itu terjadi karena berbagai kondisi lapangan yang telah mellibatkan penulis larut di dalamnya. Semula direncanakan memanfaatkan waktu 12 bulan, terhitung mulai Mei 2006–Juli 2007, tetapi sampai dengan tesis ini selesai disusun, waktu penelitian justru berlangsung hingga Desember 2010. Hasil penelitian ini menemukan, bahwa masyarakat adat Kaili telah melakukan revitalisasi terhadap tradisi budaya mereka bersama dengan berbagai komponen, seperti DPRD, Pemerintah Daerah dan Pusat, LSM/Ornop, organisasi adat, individu-individu yang peduli, budayawan, sosiolog dan sebagainya. Mereka melepaskan kepentingan dan latar belakang profesi masing-masing lalu bergandengan tangan menjalankan titah leluhur yang berpatokan bahwa “adat itu meski hanya sekepal tangan, tetapi jika dibuka akan menyinari dunia”. Pemahaman ini membuat mereka yakin bahwa UU otonomi daerah tidak menjamin kebudayaan lokal akan hidup dengan layak. Masyarakat adat di daerah harus mengupayakan sendiri agar kebudayaannya bertahan, meski dengan segala kesulitan menghadang. Di sisi lain, negara dapat dikatakan telah gagal melindungi masyarakat adat (baca: asli). Dan masyarakat adat Kaili sebenarnya telah membuktikan bahwa mereka masih bisa hidup meski tanpa bantuan negara.